Oleh : Praditya
Dalam era media sosial dan pencitraan diri yang semakin mendominasi interaksi sosial, kita kian akrab dengan sikap yang terkesan narsistik. Unggahan selfie yang sempurna, pencapaian pribadi yang terus dipamerkan, hingga keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian bukanlah hal asing lagi.
Namun, di balik fenomena ini, ada satu kondisi psikologis serius yang sering disalahpahami: Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau Gangguan Kepribadian Narsistik.
NPD bukan sekadar sikap percaya diri atau mencintai diri sendiri. Ini adalah gangguan mental yang kompleks dan berdampak besar, baik bagi penderitanya maupun lingkungan sekitarnya. Orang dengan NPD memiliki gambaran diri yang agung dan tidak realistis, memerlukan pujian terus-menerus, kurang empati terhadap orang lain, dan sering mengeksploitasi hubungan interpersonal untuk keuntungan pribadi.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), NPD termasuk dalam kategori gangguan kepribadian kelompok B, yaitu kelompok yang ditandai oleh emosi berlebihan, dramatis, atau tidak stabil.
Seseorang didiagnosis mengalami NPD jika menunjukkan setidaknya lima dari sembilan gejala utama, termasuk fantasi tentang kekuasaan atau kecantikan ekstrem, keyakinan akan keunikan diri, keinginan untuk dikagumi secara berlebihan, serta kurangnya empati.
Namun, yang sering tidak disadari, penderita NPD kerap menutupi perasaan rendah diri yang mendalam di balik topeng keagungan. Mereka mungkin tampak arogan dan percaya diri di luar, tetapi sebenarnya sangat sensitif terhadap kritik dan mudah merasa terhina atau diremehkan.
Masyarakat modern kerap mengagungkan pencapaian individu, popularitas, dan keberhasilan material. Media sosial mempercepat pembentukan identitas palsu, tempat di mana seseorang dengan kecenderungan narsistik dapat menciptakan versi ideal dirinya untuk dikonsumsi publik. Algoritma pun ikut memperkuat perilaku ini: semakin banyak perhatian yang didapat, semakin besar pula dorongan untuk tampil dan dipuji.
Kondisi ini membuat batas antara kepribadian narsistik biasa (yang masih dalam taraf wajar) dan NPD menjadi kabur. Sayangnya, ketika NPD berkembang, hubungan antarpribadi menjadi korban. Orang dengan NPD sering kali menjalin hubungan yang dangkal, manipulatif, dan satu arah.
Mereka bisa memanfaatkan orang lain sebagai “cermin” untuk membesarkan ego mereka, tanpa memedulikan perasaan atau kebutuhan pihak lain.
Penderita NPD bukan hanya menyakiti diri mereka sendiri secara emosional, tetapi juga membawa luka psikologis bagi orang di sekelilingnya. Rekan kerja, pasangan, anak, atau sahabat bisa mengalami kelelahan emosional, merasa dimanfaatkan, bahkan mengembangkan gangguan kecemasan atau depresi akibat perlakuan yang manipulatif dan toksik.
Dalam hubungan keluarga, misalnya, seorang anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan NPD bisa kehilangan rasa percaya diri, mengalami kesulitan menetapkan batas diri, atau selalu merasa tidak cukup baik. Dalam hubungan romantis, pasangan penderita NPD cenderung menuntut validasi terus-menerus, tapi enggan memberi dukungan emosional saat dibutuhkan.
Perawatan NPD membutuhkan kesadaran diri yang sangat tinggi ironisnya, inilah yang paling sulit dicapai oleh penderitanya. Karena merasa diri mereka tidak bermasalah, banyak penderita NPD enggan mencari bantuan profesional. Padahal, dengan terapi jangka panjang, khususnya terapi psikodinamik atau terapi perilaku kognitif (CBT), seseorang dengan NPD bisa belajar mengenali pola pikir dan perilaku mereka yang merusak.
Dukungan dari lingkungan pun penting. Daripada terus-menerus mengalah atau mencoba “menyembuhkan” penderita dengan kasih sayang semata, pendekatan yang lebih realistis dan berbatas tegas diperlukan. Kita harus mampu menetapkan batas emosional yang sehat untuk melindungi diri, sembari tetap memberikan ruang bagi perubahan jika si penderita memang bersedia menjalani terapi.
Seringkali kita menstigma penderita NPD sebagai “monster egois” yang haus pujian. Padahal, di balik topeng keagungan itu, ada luka batin yang belum sembuh—sering kali berakar dari pengalaman masa kecil seperti pengabaian emosional atau tuntutan prestasi berlebih.
NPD harus dipandang bukan sebagai karakter jahat, melainkan sebagai kondisi yang membutuhkan perhatian medis dan psikologis yang serius. Dengan pendekatan yang manusiawi namun tegas, kita bisa menciptakan ruang aman bagi penyembuhan, baik untuk penderita maupun orang-orang di sekitarnya.
Gangguan Kepribadian Narsistik adalah realitas yang semakin relevan di zaman penuh sorotan ini. Mengenali tanda-tandanya adalah langkah awal yang penting, baik untuk mencegah dampak lebih luas maupun untuk menjaga kesehatan mental kita sendiri. Mari tidak hanya fokus pada citra, tetapi juga membangun empati dan kesehatan emosional yang sejati karena dalam hidup, hubungan antarmanusia adalah cermin dari kedalaman, bukan permukaan.
Discussion about this post