Oleh : Musri Nauli
Membicarakan Provinsi Jambi tak dapat dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai terpanjang di Sumatera ini bukan sekadar bentang alam, tetapi juga menjadi identitas budaya, jalur ekonomi, serta pusat peradaban masyarakat Jambi dari masa ke masa.
Sungai Batanghari merupakan bagian utama dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari yang mencakup beberapa sub-DAS, antara lain Sub-DAS Batang Tembesi, Jujuhan, Batang Tebo, Batang Tabir, Tungkal dan Mendahara, Air Hitam, Airdikit, hingga Banyulincir.
Secara umum, Sungai Batanghari memiliki sembilan hulu anak sungai besar, yang dalam dialek lokal disebut “batang.” Kesembilan batang tersebut adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, dan Batang Pelepat.
Sebutan ini terpatri dalam ungkapan adat “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” yang menjadi simbol kultural masyarakat Jambi.
Sungai berperan vital dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambi. Selain menjadi jalur transportasi, sungai juga menjadi batas wilayah adat (tembo) dan tanah ulayat (mentaro). Pemukiman kuno seperti kampung tuo banyak ditemukan di sepanjang tepian Sungai Batanghari maupun anak-anak sungainya.
Nama sungai juga melekat pada identitas marga, seperti Marga Sungai Tenang di Ulu Merangin yang kini masuk dalam Kecamatan Jangkat Timur, Kabupaten Merangin. Di Sarolangun, dikenal pula Marga Sungai Pinang yang kini masuk wilayah Kecamatan Batang Asai.
Masyarakat Jambi memuliakan sungai melalui tradisi dan pantangan adat. Salah satunya adalah istilah “kepala sauk” yang merujuk pada hulu sungai yang tidak boleh dibuka secara sembarangan. Pelanggaran terhadap adat ini dapat dikenakan sanksi adat seperti “Guling Batang,” berupa denda kambing, beras, dan perlengkapan adat lainnya.
Sungai juga menjadi jalur perdagangan utama hingga akhir 1990-an, sebelum aktivitas ilegal seperti pembalakan liar (illegal logging) menyebabkan pendangkalan sungai.
Apa Hubungannya Sungai dengan Hukum Adat Melayu Jambi?
Dalam Hukum Adat Tanah Jambi, dikenal sistem hukum yang mengatur hubungan sosial dan kepemilikan, seperti hukum paanak panakan, paikatan, pakawinan, pawarisan, patanahan, dan hukum rimba. Seluruh sistem hukum ini menjunjung tinggi keseimbangan alam dan kesejahteraan masyarakat.
Seloko adat, atau ungkapan adat, menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya, seperti seloko:
“Ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu.” Artinya, setiap sumber daya air maupun darat harus dikelola dengan bijak dan berimbang.
Pemerintah desa didorong untuk menyusun Peraturan Desa (Perdes) guna mendukung program “Batanghari Bersih.” Hal ini didasari cara pandang masyarakat Melayu Jambi yang kosmopolit dan berorientasi pada keberlanjutan.
Misalnya, larangan “nubo ikan” (menuba ikan) menjadi simbol adat untuk mencegah praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti menggunakan setrum, bahan peledak, atau racun. Selain itu, masyarakat juga diajak menjaga sungai dari sampah dan polusi.
Penggunaan sungai untuk budidaya ikan tawar seperti keramba tetap diperbolehkan, asalkan mengikuti aturan desa dan perundang-undangan yang berlaku.
Sungai Batanghari bukan hanya bentang geografis, melainkan pusat peradaban, identitas budaya, dan urat nadi ekonomi masyarakat Jambi. Melalui hukum adat dan peraturan desa, masyarakat berperan aktif menjaga kelestariannya demi keberlanjutan masa depan.
Penulis adalah Advokat tinggal di Jambi
Discussion about this post