JT.COM – Ketua DPRD Provinsi Jambi, M. Hafiz Fattah, merespons aksi unjuk rasa mahasiswa yang berakhir ricuh di depan gedung DPRD Jambi, Jumat (29/8/2025).
Hafiz menyampaikan, sejak pagi ia sudah berada di kantor DPRD untuk menerima aspirasi mahasiswa. Namun, situasi yang memanas membuat pertemuan tidak memungkinkan dilakukan.
“Saya sudah di kantor sejak pagi dengan niat menemui massa aksi. Tetapi melihat kondisi di lapangan yang berkembang hingga ricuh, maka tidak memungkinkan untuk bertemu,” ujar Hafiz kepada wartawan, Jumat malam.
Hafiz menegaskan DPRD Jambi memahami keresahan masyarakat yang disuarakan melalui aksi mahasiswa. Menurutnya, demonstrasi merupakan bentuk kepedulian terhadap persoalan yang terjadi baik di tingkat nasional maupun daerah.
“Kami memberi apresiasi terhadap massa aksi yang bersungguh-sungguh ingin menyampaikan keresahan atas situasi yang berkembang, baik nasional maupun di Jambi,” katanya.
Terkait kericuhan yang menyebabkan fasilitas gedung DPRD rusak, Hafiz mengaku sudah menerima laporan awal. Kerusakan mencakup kantor, kendaraan dinas, hingga fasilitas umum di sekitar gedung DPRD.
“Saya sudah perintahkan kesekwanan untuk mendata secara rinci kerusakan tersebut. Namun saya meyakini kerusakan itu bukan dilakukan oleh massa aksi yang terjadwal, melainkan oleh oknum di luar mereka,” jelasnya.
Hafiz menyebut pihaknya akan segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah, kepolisian, serta para pemangku kepentingan untuk mencari solusi atas kejadian ini.
“Saya meminta massa aksi untuk kembali pulang. Kita semua sama-sama mencintai Jambi dan ingin memajukan daerah ini. Jangan biarkan ketulusan aksi dicederai oleh oknum yang ingin membuat kerusuhan,” pungkasnya.
Aksi unjuk rasa yang digelar puluhan mahasiswa dari Aliansi Jambi Melawan berlangsung sejak siang. Kericuhan pecah saat massa memaksa masuk ke gedung DPRD.
Mahasiswa menyampaikan empat tuntutan utama, yaitu:
1. Mengusut tuntas kasus kekerasan aparat yang menyebabkan seorang driver ojek online tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob.
2. Memberikan pertanggungjawaban kepada keluarga korban, termasuk kompensasi, santunan, dan pemulihan hak.
3. Mereformasi Polri secara nyata, bukan sekadar retorika, dengan mengevaluasi penggunaan kendaraan taktis dan kekuatan berlebihan saat mengawal aksi massa.
4. Memproses hukum oknum aparat yang terlibat, baik di lapangan maupun pemberi komando.
“Ini bukan sekadar solidaritas, ini panggilan hati nurani. Rakyat tidak bisa terus ditekan dengan kekerasan,” seru salah satu orator aksi. (Us)
Discussion about this post