Oleh: Musri Nauli
Setiap dusun di wilayah tradisional Sumatera Selatan umumnya dipimpin oleh seorang tokoh adat yang disebut Kerio atau Rio. Menariknya, dalam beberapa daerah, sebutan Kerio merujuk langsung pada kepala dusun atau kepala desa. Istilah Rio bahkan digunakan secara resmi sebagai pengganti istilah kepala desa, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 6 Tahun 2007.
Struktur pemerintahan marga terdiri dari Dewan Marga yang dipimpin oleh seorang Pesirah, serta dibantu oleh Pembarap, Kerio, dan Punggawa. Pesirah menjalankan tugasnya bersama juru tulis marga, penghulu, dan Kermit Marga. Sementara itu, Kerio dibantu oleh Kermit Dusun dan Kermit. Di tingkat kampung, kepemimpinan berada di tangan Punggawa.
Dalam buku Pola Hidup Komuniti Pra Sriwijaya di Daerah Rawa: Studi Etnoarkeologi di Kecamatan Bayung Lencir karya Nurhadi Rangkuti, disebutkan bahwa masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Lalan berasal dari tiga marga utama, yakni Marga Bayat, Marga Lalan, dan Marga Tungkal Ulu. Desa Mangsang bahkan disebut sebagai pusat pemerintahan Marga Lalan.
Catatan sejarah lokal juga menyebut bahwa wilayah ini pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Salah satu bukti historisnya adalah kunjungan Ratu Sinuhun ke Desa Bangsa dan Penampin, di mana ia menyerahkan piagam berisi perintah raja. Piagam tersebut dibuat dari tembaga dan ditulis dengan huruf Jawa.
Istilah Marga pertama kali diatur secara hukum melalui Gemeente Ordonantie (Staatsblad 1919 No. 814), yang kemudian diperkuat dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB) Tahun 1938 No. 490.34. Dalam regulasi tersebut, marga dinyatakan sebagai wilayah otonom yang mengatur kehidupan masyarakat agraris dalam lingkup adat istiadatnya.
Menurut Djohan Hanafiah dan A.W. Widjaja dalam buku Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Sumatera Selatan, sistem pemerintahan marga di daerah ini telah ada jauh sebelum abad ke-17. Pada masa pemerintahan Sidoing Kenayan (1639–1650), istrinya yang bernama Ratu Sinuhun berhasil merumuskan dasar hukum adat yang dikenal sebagai Undang-Undang Simbur Cahaya.
Dalam masyarakat adat setempat, sistem pengukuran tanah dikenal dengan istilah “jenjang”. Satu jenjang setara dengan dua depo dan satu hasta, yang jika dikonversikan ke dalam ukuran metrik menjadi sekitar empat meter (1 depo = 1,7 m; 1 hasta = 45 cm). Batas tanah umumnya ditandai dengan tanaman usia panjang seperti pohon jengkol atau petai. Tradisi ini masih dipertahankan di beberapa desa, seperti Desa Pagar Desa.
Suku Marga Bayat merupakan bagian dari suku Banyuasin yang kemudian menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA). Dalam buku Daftar Nama Marga/Fam, Gelar Adat dan Gelar Kebangsawanan di Indonesia, disebutkan bahwa marga-marga di Musi Ilir (Sekayu) meliputi Adab, Babat, Batanghari Leko, Dawas, Epil, Kubu Bayat, Kubu Lalan, Kubu Tungkal Ulu, Lawangwetan, Menteri Melayu, Penukal, Pinggap, Punjung, Rimba Asam, Sangadesa, Sungai Keruh, Supat, dan Teluk Kijing.
Desa-desa yang masuk dalam wilayah Marga Bayat antara lain Simpang Bayat, Bayat Ilir, Pangkal Bayat, Telang, Sindang Marga, Pagar Desa, Cengal, Meranti Panjang, dan Lubuk Mahang.
Discussion about this post