Oleh : Kartoyono
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi situasi yang menggugah hati: seorang ibu tua mengais sampah untuk makan, seorang anak kecil menjajakan tisu di perempatan jalan, atau buruh yang kehilangan pekerjaan karena PHK massal.
Dalam situasi seperti itu, dua perasaan yang paling sering muncul adalah rasa prihatin dan kasihan. Dua istilah ini sekilas tampak serupa, namun jika ditelaah lebih jauh, keduanya memiliki dimensi makna yang berbeda dan mencerminkan tingkat kepedulian yang tidak selalu setara.
Prihatin adalah bentuk empati yang mendalam, menyiratkan kepedulian, kesedihan, dan keinginan untuk ikut merasakan beban orang lain. Sementara kasihan cenderung muncul sebagai bentuk simpati sesaat, yang terkadang berhenti pada perasaan tanpa aksi lanjutan. Misalnya, kita mungkin merasa kasihan melihat pengemis di jalan, tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi hidup mereka?
Rasa prihatin menuntut lebih dari sekadar simpati pasif. Ia mengandung unsur keterlibatan moral, bahkan dalam kadar tertentu bisa mendorong seseorang untuk bertindak. Ketika seseorang merasa prihatin terhadap kondisi kemiskinan struktural, misalnya, ia bisa terdorong untuk melakukan advokasi, menyumbang, atau ikut serta dalam gerakan sosial yang mencoba menyelesaikan akar masalah. Di sinilah letak pentingnya membedakan antara dua bentuk perasaan tersebut.
Namun, dalam kenyataannya, masyarakat kita kerap terjebak dalam romantisasi rasa kasihan. Kita mudah tersentuh oleh cerita sedih, namun juga cepat melupakannya. Media sosial menjadi saksi betapa viralnya kisah-kisah tragis, namun hanya sedikit yang benar-benar berlanjut pada upaya kolektif yang sistematis. Rasa kasihan menjadi konsumsi emosional semata, bukan pijakan menuju solusi.
Di sisi lain, terlalu sering pula kita menyalahkan korban dengan dalih ketidakmampuan mereka untuk bangkit. Seorang lansia yang bekerja di usia renta kerap dianggap sebagai kurang beruntung, bukan sebagai hasil dari kegagalan sistem jaminan sosial. Seorang anak jalanan dianggap kasihan karena tidak bisa sekolah, tapi jarang kita bertanya: mengapa negara belum mampu menjamin pendidikan bagi seluruh anak?
Rasa prihatin yang sejati harus muncul dari kesadaran akan struktur yang timpang, bukan sekadar dari pemandangan yang menyayat hati. Dalam konteks ini, peran negara, masyarakat sipil, dan individu menjadi sangat penting untuk tidak hanya merasa kasihan, tetapi bertindak. Prihatin harus memicu perubahan, bukan sekadar pelipur lara.
Maka, penting bagi kita untuk menumbuhkan kepekaan sosial yang tidak berhenti pada belas kasihan. Kita perlu belajar mendengarkan suara-suara yang tertindas, memahami akar dari penderitaan mereka, dan ikut serta dalam memperjuangkan keadilan sosial. Kasihan memang manusiawi, tapi prihatin yang disertai aksi adalah jalan menuju perubahan.
Akhirnya, rasa prihatin dan kasihan bukan hanya soal emosi pribadi. Ia adalah refleksi dari siapa kita sebagai manusia dan sejauh mana kita peduli terhadap sesama. Di tengah dunia yang semakin individualistis, semoga kita tidak kehilangan kemampuan untuk peduli secara nyata bukan hanya merasa kasihan, tapi hadir sebagai bagian dari solusi.
Discussion about this post