Oleh : Musri Nauli
Akupun sendiri kurang ingat kapan aku mulai mengenal Zenzi Suhadi (Zenzi). Namun kebetulan ada dokumen yang mengingatkanku. Waktu menghadiri KNLH 2007
Kebetulan aku masih Dewan Daerah Walhi Jambi. Sedangkan Zenzi menjadi Direktur Walhi Bengkulu.
Kamipun mendemo KPK. Dan langsung diterima 5 Komisioner. Sebuah pertemuan yang sangat jarang ditemui seluruh komisioner.
Namun yang mendekatkanku justru ketika dua orang staf Walhi Bengkulu ditangkap. Bersama-sama dengan masyarakat yang menolak Sawit.
Kuingat betul. “Bang, ke Bengkulu, yo.. Kawan-kawan ditangkap”, kata suara di ujung telephone.
“Ok, zi”, kataku.
Zenzi kukenl sebagai Direktur Walhi Bengkulu 2008 – 2012.
Kubayangkan suasana panik ketika itu. Dua orang stafnya ditangkap. Bersama-sama dengan masyarakat yang menolak Perkebunan kelapa Sawit.
Jam menunjukkan pukul 19.30 wib. Tanggal 24 Juli 2010. Waktu itu di Walhi Jambi sedang ramai. Ada Feri Irawan (Direktur Walhi Jambi 1999-2008) dan Alm Arif Munandar (sedang menjabat Direktur Walhi Jambi).
Sebagai solidaritas, Alm Arif Munandar berkepentingan untuk memberikan dukungan.
Berbagai koordinasi segera dilakukan. Alm Arif Munandar kemudian sendiri memimpin tim Walhi Jambi ke Bengkulu.
Menggunakan fasilitas dari Walhi Jambi dan mobil yang disediakan Feri Irawan, saya dan Arif kemudian menyusul ke Bengkulu.
Seingatku waktu keberangkatan pukul 23.00 wib.
Perjalanan Jambi – Bengkulu menyita waktu. Jambi – Sarolangun – Lubuk Linggau – Bengkulu bisa memakan waktu 12 jam waktu normal.
Rute yang saya tempuh 2 tahun. Baik persidangan di Seluma maupun urusan teknis lainnya.
Siang hari kemudian saya tiba di Bengkulu. Langsung bertemu dengan Dikson Aritonang (Mantan Direktur Walhi Bengkulu).
Senin siang, saya dan Arif ditemani Zenzi ke Polda Bengkulu. Bertemu dengan Staf Zenzi (Dwi Nanto dan Firmansyah). Termasuk bertemu dengan masyarakat yang juga ditangkap.
Selama 3 hari penuh, saya berada di Polda Bengkulu. Mendampingi proses hukum terhadap teman-teman dan masyarakat Seluma ditangkap.
Selama 2 tahun kemudian, saya mulai mengenal lebih dekat dengan Zenzi. Seorang anak dusun yang dibesarkan dalam tradisi masyarakat yang kuat. Baik karakter maupun cara membaca alam.
Dengan suara pelan kadangkala lirih, dia menjelaskan setiap makna simbol-simbol alam. Sembari menjelaskan dari pendekatan biologi. Termasuk menggunakan istilah morfologi atau genus.
Dengan background Biologi, setiap perubahan ataupun melihat persoalan lingkungan dari pendekatan ilmu yang dikuasainya.
Dia mampu menghitung penurunan kerbau rawa akibat perubahan fungsi dari rawa. Ataupun dia mampu menghitung daya rusak Lingkungan akibat pertambangan.
Dengan menghitung secara matematika dengan membaca amdal, Zenzi mampu membuat ilustrasi. Lengkap dengan perubahan setiap tahun daya rusak tambang.
Dengan ilustrasi yang kemudian dipindahkan ke gambar, daya rusak yang cuma dalam ilustrasi masyarakat mampu dipindahkan ke gambar.
Sebagai ilustrasi yang mampu kemudian menggerakkan masyarakat kemudian menolak tambang.
Dan akhirnya masyarakat mampu menolak tambang. Hingga kemudian perusahaan ditutup secara resmi.
Interaksi kemudian berlanjut.
Paska menjadi Direktur Walhi Bengku, Zenzi kemudian masuk ke Eknas Walhi. Menjadi Manager kampanye hutan dan Sawit.
Tidak lama kemudian saya terpilih menjadi Walhi Jambi. Dan hubungan koordinasi antara Walhi Jambi dengan Eknas Walhi kemudian berlanjut.
Zenzi mampu menjadi penyambung teman-teman Walhi daerah yang advokasi issu Sawit dan hutan.
Termasuk kampanye-kampanye besar terhadap pelaku pembakaran yang massif tahun 2013 dan 2015.
Tahun 2016, Zenzi kemudian dipercaya menjadi Kepala Departemen Advokasi Eknas Walhi. Sementara itu saya malah mengakhiri jabatan sebagai Direktur Walhi Jambi.
Namun sejak akhir 2017, saya yang kemudian bertugas di Jakarta, hubungan personal terus dibangun. Termasuk mendiskusikan issu-issu stratetegis. Sekaligus memberikan input-input didalam membaca kondisi politik.
Kami terus berdiskusi. Entah berapa kali kami harus berdebat keras. Berbagai issu-issu yang menarik topik diskusi justru menempatkan berbagai strategi yang kami pilih justru sering berbeda pilihan.
Sebagai “orang yang terus merasakan ketidakadilan”, dia lebih memilih bersama dengan barisan demokrasi jalanan. Memperjuangkan agenda-agenda Lingkungan.
Sementara saya lebih memilih untuk memberikan asupan-asupan informasi kepada pemegang mandat kebijakan negara.
Perbedaan strategi yang dipilih membuktikan. Kami tetap merdeka dengan pilihan strategi masing-masing.
Ketika KNLH Walhi tahun 2019 yang kemudian menetapkan tahun 2020 untuk pelaksanaan PNLH, setelah kesepakatan pemilihan tuan rumah PNLH, Zenzi tiba-tiba menelephone saya.
“Bang, saya maju Direktur Walhi”, Katanya di ujung telephone.
“Wah, sudah betul !!!”, kataku senang.
Tidak terbayang ketika itu saya bersama-sama dengan Zenzi turun ke kampung-kampung. Ke berbagai Desa di Kabupaten Kaur ataupun Desa di Kabupaten Seluma.
Mendengarkan cerita masyarakat tentang alam sekitarnya. Sama sekali tidak terpikirkan.
Menjelang akhir masa jabatannya, suatu malam yang dingin kamipun bertemu.
Dengan sedikit mata berkaca-kaca dia berucap.
“Aku Kehilangan abang selama tiga tahun”, Katanya lirih. Nyaris tidak terdengar.
Akupun tersentak. Kata-kata itu benar-benar menusuk.
Tiga tahun. Itu rentang waktu yang begitu panjang.
Ya. Sejak tahun 2020 memang aku kembali ke Jambi. Setelah di BRG yang memang stay di Jakarta. Walaupun tahun 2021 bergabung di BRGM namun ditugaskan di Jambi.
Kalaupun aku ke Jakarta, ngopi sembari diskusi tentu saja intensitas tidak sesering ketika saya di Jakarta.
Rasa berdosapun menghinggapi. Bagaimana seorang sahabat yang “ditugaskan” menjadi Direktur Eknas Walhi kemudian “kehilangan” ketika memimpin di Jakarta.
Bagaimana mungkin seorang sahabat yang “ditugaskan” sebagai Direktur Eksekutif Nasional WALHI justru merasa “kehilangan” diriku. Padahal ia sedang memimpin di Jakarta.
Selama Zenzi menjabat, aku memang sengaja menjaga jarak. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan keorganisasian, bahkan hal-hal kecil sekalipun
.
Aku sering berkata, “Aku bantu kau memenangkan di WALHI. Masa aku juga harus memikirkan WALHI. Kau uruslah WALHI”. Mungkin, sejak saat itu, ia tak lagi mau berdiskusi denganku tentang organisasi.
Sikap ini sengaja kutegaskan. Selain posisi aku yang memang sudah bagian dari Pemerintah baik terlibat aktif di Pemerintah Provinsi Jambi maupun bekerja di BRGM.
Aku sengaja tidak mau mendiskusikannya. Posisi aku sama sekali tidak mau mengurusi yang berkaitan dengan keorganisasian. Dan Aku tidak mau “terjebak” dengan keorganisasian. Agar aku tidak pernah membawa-bawa Walhi dengan cara pandang aku.
Selain itu juga aku berharap agar Zenzi tidak terbawa beban untuk mengambil keputusan. Entah bersikap kritis ataupun langkah politik apapun.
Namun, caraku ini justru meninggalkan rasa kehilangan. Sikapku yang sengaja menjauh ternyata membuat Zenzi merasa kehilangan. Tiga tahun. Lagi-lagi akupun tersentak.
Penyesalan itu kini membayangiku, menyisakan rasa bersalah yang mendalam. Sebuah persahabatan yang seharusnya menjadi tempat berbagi. Kini diselimuti oleh jarak dan rasa bersalah.
Aku tidak pernah bermaksud meninggalkannya. Namun tindakanku justru membuat Zenzi kehilangan.
Benar. Rasa dada ini sesak. Akupun terdiam. Sesekali menghela nafas.
Namun terhadap gagasan, rencana agenda politik ataupun menempatkan Walhi sebagai pilar Lingkungan Hidup menjadi diskusi rutin. Dan menjadi tema yang paling menyita energi.
Dan yang paling kukagumi adalah cara pandang terhadap lingkungan hidup. Pengetahuan empiriknya yang kemudian menghasilkan Akademi Ekologi adalah “pemikiran yang sarat makna”.
Memang dibutuhkan pengayaan untuk menerjemahkan Akademi Ekologi. Baik dari nilai-nilai, perspektif hingga praksis yang menjadi aplikasi.
Sebagai sebuah pemikiran, sebagai sebuah ide besar, dari ranah itulah yang kemudian mempererat hubungan personal.
Sebagai “biologis” yang menerjemahkan lingkungan hidup dari alam pemikiran Nusantara, pemikiran inilah yang menjadi landasan penting.
Baik sebagai “nyawa” Walhi ditengah usianya mencapai 45 tahun. Maupun sebagai “entitas” yang membedakan dengan Organisasi lingkungan hidup di Indonesia.
Lagi-lagi. Konsep Akademi Ekologi adalah cara pandang Zenzi yang genuine, unik sekaligus cerdas menempatkan Walhi didalam diskusi putaran global.
Sebagai orang yang bergumul dengan matematika, akupun menjadi paham. Desain Akademi Ekologi sudah lama dirancang. Sekaligus menjadi bagian dari Pekerjaan yang mendatang.
Selamat datang, Zen. Mari kita bertarung dengan medan tempur yang sebenarnya.
Kusambut kedatanganmu. Dan akupun berjanji. Tidak akan meninggalkanmu.
Mewujudkan mimpi besarmu dalam agenda besar.
Akademi Ekologi.
Discussion about this post