Oleh: Ramadhani
Di tengah derasnya arus informasi digital, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Batanghari mengambil langkah taktis yang patut diapresiasi: menciptakan platform PAKEM sebagai bentuk multitugas dinamis dalam menghadirkan produk jurnalistik berkualitas.
Langkah ini bukan sekadar administratif. PAKEM memberi ruang bagi para wartawan untuk naik kelas—bukan hanya dari segi kompetensi, tetapi juga etika dan kejelasan posisi mereka sebagai mitra strategis pemerintah dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Melalui PAKEM, berita yang telah dipublikasikan oleh wartawan—baik melalui media daring maupun media sosial diintegrasikan ke dalam satu sistem. Hasilnya, keterbukaan informasi meningkat secara signifikan. Masyarakat kini bisa mengakses, menanggapi, bahkan mengkritisi informasi secara langsung melalui kanal yang disediakan. Inilah transparansi dalam bentuk paling nyata.
Namun transparansi tanpa kualitas hanyalah ruang kosong. Kepala Diskominfo Batanghari, Amir Hamzah, tampaknya menyadari betul hal itu. Ia menaruh harapan besar pada lahirnya penulis-penulis yang tidak hanya produktif, tetapi juga patuh pada kaidah jurnalistik: menyajikan fakta, menjaga keberimbangan (cover both sides), dan tidak mencampuradukkan opini pribadi dengan informasi publik.
Di sinilah PAKEM punya nilai strategis. Sistem ini menjadi alat seleksi alam terhadap mereka yang benar-benar layak disebut jurnalis. Diskominfo juga menetapkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sebagai tolok ukur legalitas media. Artinya, hanya perusahaan pers dengan badan hukum dan wartawan yang bersertifikat yang dapat ikut dalam ekosistem informasi resmi pemerintah.
Namun, seperti biasa, tidak semua pihak menyambutnya dengan tangan terbuka. Sebagian oknum—yang kerap disebut “wartawan untul-untul” tampak gelisah. Mereka adalah individu atau kelompok yang tidak memiliki badan hukum, tidak memiliki sertifikasi kompetensi, dan lebih sering menjalankan praktik intimidasi ketimbang kerja jurnalistik.
Wartawan jenis ini biasanya keluar masuk kantor pemerintahan tanpa tujuan jelas, kecuali sekadar menakut-nakuti. Mereka tidak terdaftar di Dewan Pers, tidak menjunjung kode etik jurnalistik, dan tidak bisa menunjukkan legalitas medianya. Praktik semacam ini bukan hanya merusak citra profesi wartawan, tetapi juga membahayakan hak masyarakat atas informasi yang benar.
PAKEM, dalam konteks ini, menjadi pagar pengaman sekaligus cermin. Masyarakat dan instansi pemerintah kini bisa mengecek legalitas wartawan hanya dengan mengakses situs resmi Dewan Pers. Ini langkah cerdas dan strategis yang seharusnya menjadi standar nasional.
Sudah saatnya pemerintah daerah lain mengikuti jejak Batanghari. PAKEM adalah bukti bahwa inovasi birokrasi bisa berperan besar dalam menertibkan dunia pers, sekaligus menjaga marwah jurnalisme sebagai pilar keempat demokrasi.
Di era ketika siapa pun bisa mengaku wartawan, sistem seperti PAKEM adalah penyaring yang dibutuhkan. Bukan untuk membatasi kebebasan pers, tetapi untuk memastikan bahwa kebebasan itu dijalankan oleh mereka yang layak, terdidik, dan bertanggung jawab.
Penulis adalah Pengurus JMSI Jambi, Pemegang Sertifikat Madya LPDS
Discussion about this post